"Masih tidak jelas siapa pemasok obatnya serta bagaimana penentuannya. Padahal, transparansi dan keterlibatan semua pemangku penting untuk membuat JKN jadi program sukses," kata Luthfi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (20/1).
Luthfi berpendapat pemerintah perlu lebih aktif dalam mengajak pihak swasta untuk menyukseskan program JKN. Selain itu, pemerintah dinilai perlu menambah alokasi dana kesehatan dan akses kepada pengobatan yang memadai.
Berdasarkan data dari IPMG, pengeluaran layanan kesehatan pemerintah Indonesia masih terbilang minim, yakni hanya 3,15 persen dari total Penghasilan Domestik Bruto (PDB).
"Padahal, negara lainnya mengeluarkan sekitar 6, 3 persen," katanya.
Pengeluaran layanan kesehatan tersebut, katanya, sebanyak 40,5 persen dilakukan pemerintah. Sementara, 59,46 persen belanja kesehatan dilakukan swasta.
Selain persoalan rendahnya belanja kesehatan, minimnya sosialiasasi juga dinilai sebagai kekurangan JKN pemerintah. "Bukan hanya sosialisasi ke masyarakat yang minim tapi juga ke penyedia layanan JKN," ujar dia.
Padahal, pihaknya sangat berharap banyak dari program JKN. Pasalnya, sistem jaminan kesehatan tersebut berpengaruh terhadap peningkatan pasar farmasi.
"Terutama kebutuhan Indonesia atas obat berkualitas dan inovatif," ujar dia.
Marak Obat Palsu
Sementara itu, pihaknya juga meminta ke pemerintah agar lebih gencar melakukan sosialisasi mengenai peredaran obat palsu.
"Perlu sosialisasi lebih gencar agar masyarakat tahu mana saja obat palsu. Kami sudah inspeksi ke beberapa apotek dan masih ditemukan obat palsu," kata dia.
Obat palsu tersebut, umumnya, berupa obat antibiotik dan obat pil biru. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2014 ditemukan sebanyak 583 kasus obat palsu, dengan total kerugian ekonomi mencapai Rp 27 miliar.
Luthfi mengatakan semakin laku obatnya, semakin banyak versi palsunya. Dari pihaknya di lapangan, tak hanya obat luar negeri yang dipalsukan tetapi juga obat produksi dalam negeri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjutak mengatakan pemerintah sebaiknya mempercepat registrasi obat untuk menanggulangi persoalan tersebut.
"Kabarnya BPOM akan menambah 20 pegawai di bagian registrasi. Kami sambut baik keputusan tersebut," ujar dia.
sumber : cnnindonesia.com